
“ayo de, kita udah sampai dirumah sakit kamu harus segera diperiksa” ujarnya sambil memakirkan mobilnya.
“aku nggak mau kerumah sakit ka, kita balik aja” jawab ku tetap menolak. Setelah muntah keadaan ku sedikit lebih baik setidaknya tidak ada lagi beban yang tertahan di tenggorokan ku meski sakit kepala ini memang belum hilang.
“nggak boleh nolak de ayo turun atau kamu mau aku seret?” ia tetap memaksa ku. lengan ku sudah ia pegang erat agar tidak merontak lagi. Tepat di depan pintu masuk aku kembali berbalik arah menjauh. Aku berusaha menahan badan ku persis seperti patung tak bergeming meski sebenarnya badan ku sudah lemas sekali.
“kenapa kamu nggak mau diperiksa? Kamu kan lagi sakit” tanyanya bingung dengan pendirian ku ini. Ia menatap ku yang hanya bisa diam tak bisa menjawab. Sebenarnya alasanya simple karena aku tidak mau merepotkannya. “apa karena biaya? Tidak perlu memikirkan biayanya kamu tenang aja” ujar laki-laki yang terlihat lebih tua dari ku beberapa tahun itu, mencoba menyakinkan bahwa dia akan menjamin semua biayanya. Ia kembali menarik tangan ku dengan lebih keras namun aku segera menepisnya.
Aku memang tidak punya cukup uang untuk berobat tapi aku tidak akan pernah merepotkan orang lain apalagi orang yang sama sekali tidak aku kenal yang tiba-tiba mau menolong ku di tengah jalan, aku tidak akan mungkin bisa menerima semua kebaikannya ini semudah itu sekalipun ia tulus membantu ku.
“aku nggak mau, aku bisa sembuh tanpa berobat” jawab ku mantap.
“bagaimana bisa sembuh de kalau nggak diobati, ayo cepet jalan jangan membuat ku kesal” ujarnya dengan suara yang lebih ditekankan lagi bahwa aku harus segera menurut.
“nggak mau ka, aku bisa sembuh dengan minum obat warung ko” jawab ku sambil melangkah pergi, namun tidak sampai dua langkah badan ku sudah terangkat keatas.
Ia menggendong ku meski aku sontak langsung meronta-rontak minta diturunkan, ada dua alasannya pertama karena aku memang tidak mau diperiksa, kedua karena semua orang yang ada di lobi depan rumah sakit menatap kearah kami dengan pandangan bingung, tapi ia tidak peduli dengan semua itu bahkan tidak peduli dengan protes ku yang terus menolak “diam jangan berisik! nggak akan aku biarkan pasien pertama ku mati mengenaskan gara-gara meminum obat warung” ucapnya sembari menatap mata ku, tapi aku masih berusaha turun dari gendongannya hingga tiba-tiba tanpa aku sadari kepala ku semakin sakit karena terbentur palang pintu rumah sakit dan aku langsung tak sadarkan diri meski sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ada dibenak ku tentang laki-laki ini.
Siapa sebenarnya laki-laki ini? kenapa ia bisa begitu baik dengan orang asing yang baru ia tolong ditengah jalan ini? bukankah kami tidak saling mengenal? Tapi kenapa ia mau menolong ku? Apakah manusia dengan title makhluk sosial masih ada di tengah dunia yang sudah individualis ini atau mungkinkah ia malaikat mu tuhan?
Bersambung…